Penulis : Warno Hady
Bagi yang menjalin cinta kasih, guna mempererat kesungguhan hubungan dilengkapi kata Sumpah.
Berbagai kata Sumpah, seperti Sumpah setia, Sumpah sabar menunggu. Jelasnya Sumpah notabene dalam meyakinkan seseorang.
Hingga kadang tak menjadi sadar betapa beratnya mempertanggungjawabkan kata Sumpah.
Di saat Sumpah itu berembus begitu saja dari mulut dengan ringan niscaya sumpah itu tidak dari hati. Mungkin sumpah itu singgah di otak dengan suhu akal-akalan sebab masih dikuasai otak.
Rasanya bisa di pandang dari sudut apa saja, otak selalu berperan tanpa di barengi Qolbi. Dan menghasilkan pada ke gersangan nilai.
Orang selalu berperan sikap “Merasa Bisa” Namun tidak selalu sikap “Bisa Merasa” yang aspek kegiatan sehari-hari tetap menghadirkan Hati Nurani.
Di sana pada kontek luas semestinya Hati dan Otak harus dominan. Menuju ke suksesan menjadi keharusan agar bisa disebut Insan Sempurna.
Begitu jualah hubungan Pria dan Wanita, justru hatilah penyebab hubungan mulia. Walau tidak dipungkiri bila hati juga bisa dihinggapi virus. Sebagaian penyakit hati, iri hati, sombong, takabur, dengki, itu selalu di ekspresi oleh otak kemudian beku mengkristal menjadi sipat keakuan.
“Kalau tidak Aku pembangunan Masjid itu tidak jadi. Kalau tidak Aku Perampok itu tidak tertangkap”.
Seandainya sifat keakuan itu mewarnai rasa Cinta, sepertinya ada pemaksaan untuk dicintai dari sebelah pihak. Cinta pun tidak berjalan secara alami dengan apa adanya.
Sumpah palsu adalah ucapan sia-sia, meskipun bagaimana adalah beban dan tuntutan yang sekaligus adalah Dosa besar.
Sebagaimana halnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah tonggak Sejarah Bangsa Indonesia. Ikrar cetusan/ucapan dari para Pemuda Indonesia, momen kesungguhan sikap arah perjuangan Bangsa menghilangkan keragu-raguan. Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa, bersamaan menjadi Kesatuan.
Kita lihat sampai hari ini sepertinya sudah jauh bergeser. Segalanya penuh dengan gemerlapan materi, orang dalam upaya mencari peluang hidup sederhana pun harus menyanding Materi.
Rasa Solidaritas luntur jauh. Keganjilan pola pikir jadi mengakar, walau menerjang norma sosial maupun Religius. Semisal yang materi melimpah kebenaran mudah dibeli. Segala sudut gampang dibeli oleh materi. Terenyuh hati kita bagi yang mau makan saja sulit, sampai satu-satunya anak gadisnya harus menjual tenaga sebagai pembantu Rumah Tangga di Negari orang. Lantas seumpama kita yang tergolong dalam posisi sulit, apa boleh punya rasa iri ..?
Sedang di kanan kiri berkehidupan mewah.
Sejatinya di kehidupan ini tidak harus memiliki rasa iri, apalagi terbalut kedengkian.
Kembali pada cetusan Sumpah Pemuda, sudah pasti yang dikehendaki ialah Persatuan, Kesatuan, Persaudaraan hidup saling menopang mana yang mebutuhkan. Sebab Negeri ini bukanlah milik perseorangan maupun golongan. Namun milik bersama yang tertanam punya dasar pemikiran mencintai, sebagai Negeri tempat kelahiran pribadi dan para Leluhur.
Mari jauhi drap individualis, nilai luhur Sumpah apapun itu, ajaran moral sejak ini yang namanya Sumpah jangan hanya terucap di bibir, namun menjadi ikatan tuntunan dalam hati dan terwujut sejati.